INTRODUKSI: Utopia yang Berkonflik, dan Kodrat Dekonstruksi dalam Teks

Entri 1: Mulai Menulis tentang Gerakan Avant-Garde (Garda Depan) Abad ke-20

Sudah menjadi hal biasa bahwa isi dari kritik atas modernisme didominasi oleh persoalan mengenai bahasa itu sendiri. Praktik teks Avant-Garde dalam beberapa hal secara mendasar mengganggu kegunaan dan ketepatan bahasa bahkan dalam praktiknya sehari-hari dimana mereka menyingkap apa yang ada dibalik pandangan kita atas kegunaan bahasa dan mendorong kita untuk terus menemukan bahasa dari yang-lain; dimana itu merupakan tujuan akhir modernisme sesungguhnya – ketika subjeksi didapatkan melalui pantulan bahasa atas yang-lain (liyan). Bahasa menjadi sebuah semesta bagi dirinya sendiri, sebuah ranah absolut yang merujuk pada ketidakberdayaan asal-usulnya sendiri.

FOTO: Andre Bretton dan Grup Surealisnya

Dalam blog ini setidaknya akan diangkat beberapa hal tentang bahasa yang mungkin saja menarik perhatian pembaca, sambil di lain sisi menunjukkan bahwa apa yang sering dianggap sebagai sesuatu yang paling terpinggirkan dalam bahasa merupakan bagian yang juga penting dalam fenomena berbahasa. Seperti, Roussel dan Leiris misalnya, berupaya untuk dalam banyak kombinasi pekerjaan mereka untuk melihat pernyataan dasar bahasa sebagai fungsi yang mewahanakan sebuah permainan kata-kata: tulisan mereka setidaknya dalam batas tertentu, dihasilkan dari persamaan suara (fono) diantara kata-kata yang dari titik itulah kemudian kita akan mengungkap hubungan yang aneh diantara arti yang membatasi kata-kata. Yang lain seperti Blanchot dan Ponge melihat keheningan makna dan kematian di jantung penulisan, dan menulis sebentuk nihilisme seperti keheningan bahasa ala posmodern yang kita kenal sekarang. Proyek-proyek mereka sebagai avant-garde (garda depan) cenderung menyeberangi batasan dan menyimpang.

Tidaklah sulit untuk melihat dunia bahasa avant-garde ini sebagai utopia: mereka adalah ranah di mana bahasa sebagaimana mestinya – bukan sebagaimana adanya – ditampilkan. Mereka menuai banyak kritik termasuk dari kalangan Marxian, dimana diantaranya Lukacs, dengan cepat menunjukkan bahwa gangguan modernisme yang sebenarnya adalah pengakuan atas kemandulan, pelaksanaan revolusi pada ideal yang abstrak, dimana risiko – juga manfaatnya (konon) bernilai nol. Dalam pandangan ini, praktek avant-garde terbatas pada ranah sosial-elit saja, karena ia hanya memiliki sedikit hal untuk dikatakan kepada orang-orang di kehidupan dan permasalahannya sehari-hari; ia akhirnya menjadi alat bagi reaksioner – gangguan formalnya hanyalah refleksi dari pembusukan borjuis dan sangat sesuai dengan kekuatan penjaga ketertiban tertentu.[1]

Kritikus lain seperti Julia Kristeva berpendapat bahwa subversi formal avant-garde pada dasarnya revolusioner, dan bukan reaksioner: mereka berpendapat bahwa gangguan bahasa adalah produk dari “aliran semiologis” predenotatif  – yaitu, keadaan bahasa di luar batasan-batasan logika dan penandaan yang represif – dan teks avant-garde kembali untuk membebaskan kekuatan-kekuatan ini dalam bahasa dan masyarakat. Dalam pandangan ini teks-teks avant-garde paling berperan penting memunculkan persatuan dialektis antara logika/denotasi dan aliran hasrat yang terbebaskan dari kekuatan signifikansi represif. Namun di sisi lain, Kristeva berpendapat bahwa penulis-penulis tertentu, seperti Louis-Ferdinand Celine, secara fundamental salah memahami implikasi revolusioner dan praktik bahasa sehingga mengaitkannya secara keliru dengan fasisme.[2]

Bahkan mungkin ada kemungkinan ketiga, ketika kita membaca kelima penulis yang akan disajikan dalam blog ini, kita akan berusaha untuk melihat tidak hanya penolakan utopis atau pengingkaran berbagai masalah politik, tetapi juga kembalinya mereka. Teks-teks modernis mungkin menjadi tempat atau arena pergulatan yang tak kunjung terselesaikan antara kekuatan-kekuatan ideologis yang berbeda, alih-alih gudang dari kekuatan tunggal: kita akan mencoba membaca ruang dimana perjuangan itu terjadi, dimana ia ditolak, dan, sebaliknya, di mana ia dapat dibaca, mungkin saja justru melalui penolakannya. Untuk membaca ruang antara posisi politik dan penulisan ulang politik, orang tidak memerlukan posisi “netral” pada dirinya sendiri. Namun seperti yang akan kita lihat, kekerasan konfliktual dalam teks-teks yang blog ini sarankan untuk dibaca tentu saja tidak dapat diasingkan dari pertimbangan kritis. Kelima penulis yang akan disajikan dalam blog ini, dengan cara yang berbeda, fokus pada mutilasi dan pengorbanan otomatis. Fenomena pengorbanan batin ini sama sekali bukan surat mati bagi kritik itu sendiri dewasa ini: faktanya itu mungkin yang paling penting yang kita bisa lakukan sebagai pembaca wajah “sastra” dan “filsafat”.

Catatan Kaki:

1. Lihat Georg Lukacs’s Writer and Critic, terj. Arthur D. Kahn (New York: Grosset and Dunlap, 1971:

Dalam pesimisme medalam dari seni dan ideologi mereka, para penulis terkemuka itu mencerminkan permusuhan kapitalisme terhadap seni dan keburukan hidup secara umum di bawah kapitalisme. Seniman dan pemikir menjadi semakin kewalahan oleh suramnya kehidupan di zaman imperialisme. Walaupun mereka mewakili ketidakmanusiawian kapitalisme dengan intensitas yang semakin besar, mereka tidak lagi memanifestasikan kemarahan yang memberontak tetapi menunjukkan penghormatan sadar atau tidak sadar terhadap “monumentalitasnya”. Cita-cita kecantikan Yunani menghilang dan digantikan oleh orientalisme modern atau pemuliaan Gothic atau Baroque yang dimodernisasi. Nietzsche melengkapi transformasi ideologis ini dengan menyebut manusia Yunani yang harmonis sebagai mitos, dan dengan mengubah rupa Yunani serta Renaisans “secara realistis” menjadi peradaban “tidak manusiawi dan bestialitas monumental”. Fasisme mewarisi kecenderungan dekaden dari perkembangan borjuis ini dan mengadaptasinya dengan tujuan diagnosisnya sendiri, menggunakannya untuk memberikan dasar pemikiran ideologis bagi penjara dan ruang penyiksaannya. (hlm. 101-102)

Selain itu adapula kutipan dari esai “The Ideal of the Harmonious Man in Bourgeois Aesthetics,” dalam Writer and Critic. Lihat juga esai “Healthy or Sick Art?” dalam volume yang sama:

Setiap oposisi steril dan impoten terhadap sistem sosial yang dominan atau, lebih tepatnya, pada gejala budaya tertentu dari sistem ini harus mengembang dan mengubah masalah konkret dari ketidakmanusiawian kapitalis menjadi ketidakmanusiawian kosmis, “kosmis” yang kabur. Dan karena, seperti yang kita telah lihat, ada unsur-unsur kuat kapitulasi dalam setiap oposisi yang steril, ketidakmanusiawian yang disosialisasikan secara keliru dan di desosialisasikan dengan sendirinya diubah menjadi sebuah prinsip seni. (hlm.108)

2. Lihat La Revolution du langage poetique karya Julia Kristeva [Revolusi Bahasa Puitis] (Paris: Seuil, 1974) dan, untuk komentar tentang Celine, bab “D’une identite 1’autre” [“Dari Satu Identitas ke Yang Lainnya “] dalam Polylogue (Paris: Seuil, 1977), khususnya hlm. 170-71.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai