Catatan Skizofrenik: 3. Konferensi Pekalongan

 

Setahun berada di jangkauan obat dokter, aku menyempatkan diriku untuk berangkat ke Pekalongan untuk mengikuti semacam konferensi – jika layak disebut begitu – tentang kebudayaan internet. Segera setelahnya aku langsung menggeser beberapa kilometer dari tempat ghibah internet tersebut menuju konferensi – lagi-lagi jika layak disebut begitu – mengenai fiksi ilmiah kontemporer, yang juga tengah berputar membahas penyebaran budaya baru sejak penggunaan internet di Indonesia. Aku masih belum mengerti sampai sekarang mengapa kedua konferensi ini dilaksanakan terpisah dan tidak digabung saja.

Komunitas bawah radar di sekitar Pekalongan itu menjanjikan pemutaran beberapa film lama fiksi ilmiah tahun 1970-2000, yang mana aku tertarik dengan film adaptasi Crash dari David Cronenberg yang akan dinobarkan didalamnya. Ada juga beberapa diskusi panel yang tidak terlalu menarik dan kurang menggairahkan, dimana ternyata komunitas ini dipenuhi dengan ide-ide jompo cyberutopis, seperti “tubuh yang tervirtualkan” dan pembicaraan mengenai “kemampuan teknosapiens”. Alhamdulillah ada sekelompok hacker misterius yang menyusup dan membawa acara itu kembali ke dalam situasi realisme yang kasar.

cara-menjadi-hacker-EKRUT

Penyusup itu adalah 10 orang anonim dengan seragam paramiliter hacker mereka – hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki, mengenakan balaclava yang juga hitam warnanya, dimana ada pancaran karisma kriminal di dalamnya. Perhatianku sukses diculik oleh keberadaan mereka. Mereka membagikan fotokopi yang berisikan “Manifesto Anti-Internet” kepada para hadirin yang kebingungan di luar bangunan acara itu sambil mengelak dari upaya tim pengamanan yang ingin membuang mereka jauh-jauh, namun celakanya malah membuat sekelompok penyusup ini makin menarik perhatian sejumlah peserta. Mereka adalah sekelompok hacker penyusup yang cukup berani layaknya butiran pasir di sela-sela kunyahan gigi.

Aku menyimak pidato mereka, dimana ada sebuah pemahaman menarik yang aku tangkap mengenai sebuah kebosanan yang akan segera melumpuhkan era cyber ini, mereka mengumumkan pada semua orang bahwa: janji mengenai akses universal jaringan internet belum ditepati, dan justru digantikan oleh kediktatoran komersial yang luar biasa dengan batas-batas yang membagi isi internet menjadi dua kelompok yakni: cyber-elit (semua orang yang memiliki akses ke jaringan dan mengendalikannya) dan cyber-drone (mereka yang tidak memiliki modal untuk memecahkan dinding komersialisasi virtual internet). Aku ingat di tahun yang sama, sebuah profil cyber terkemuka naik mencuat berkat seruannya untuk membangun pemerintahan internet yang otonom, dengan tujuan menghindari logika perusahaan di jaringan deepweb yang saat itu belum terlalu ramai. Tetapi menurut orang-orang berseragam hitam ini, pemerintahan internet adalah utopianisme hippie sampah yang tak jauh berbeda dengan ide-ide tubuh virtual dan teknosapiens. Dalam deklarasi mereka di tengah-tengah acara itu, mereka bicara bahwa tidak ada yang bisa mengembalikan kerusakan dan ketidakpuasan yang merusak budaya cyber hari ini: seperti yang mereka lihat, jaringan internet dipenuhi keputusasaan, dan keruntuhan semangat yang akhirnya harus dipercepat dari dalam sehingga sesuatu yang baru akan muncul dan akhirnya merangkak dari reruntuhannya. Mereka menyerukan perlawanan terhadap segala keseimbangan politik, dan aku menemukan diriku terpesona pada visi mereka.

Di  akhir hari pertama konferensi itu, aku berhasil masuk menyelinap ke semacam ritual umat beragamakan internet, dimana acara tersembunyi itu dilakukan untuk merayakan peresmian konferensi, yang diadakan sedikit jauh dari lokasi konferensi itu sendiri. Aku dikatakan menyelinap karena aku sendiri tak mungkin mendapatkan undangan resmi, karena aku tentu saja bukanlah teman dari teoritikus cyber ternama, yang memimpin acara di tempat itu layaknya raja dan ratu cyber dunia maya, dimana ia selalu dikelilingi semacam gerombolan kacung setia yang menempel dan mengikuti mereka kemana-mana seperti kutu busuk di tas berbulu. Acara rahasia itu dibuka di ruang depan dengan penampilan BDSM terbuka, diikuti dengan ruangan belakang yang diwarnai dengan kegiatan semacam baptis kasar/penataran terhadap orang-orang yang baru bergabung di klub itu, sementara di ruang tengah digelar acara semacam dugem yang diisi oleh kerumunan orang menari-nari di sekitar 2 tempat tidur yang ada dalam setting ruangan. Di masing-masing tempat tidur itu terbaring seorang pria dan wanita yang sedang di kelilingi oleh sepasang kekasih yang terlihat sedang menindik bibir orang yang sedang berbaring.

Dipicu oleh atmosfir seksual, sebuah kejahatan dalam diriku tengah menjalankan aksinya melintasi kerumunan pesta seperti bola di stadion, dimana tiba-tiba aku melupakan apa yang terjadi selanjutnya di dalam pesta meriah itu. Aku tak sadarkan diri, namun bukan pingsan atau mabuk alkohol pastinya, entah apa yang terjadi, saat terbangun aku mendapati diriku berada di tempat tidur dari hotel yang terlihat mewah, dimana di lantai ruangan yang terletak di depanku, ada seorang laki-laki dan perempuan yang kutemui di pesta kemarin: Danna, perempuan asal Jakarta, dan pria yang dipanggil Ebet asal Pekalongan sendiri.

Dalam beberapa jam kedepan, kami bertiga membentuk semacam holaqoh – duduk melingkar. Sebuah diskusi yang dibuka dengan pembicaraan kiprah cyberpunk di negeri yang tak cukup dikenal ini. Diikuti dengan pembicaraan tentang nasib terpinggirkannya geliat budaya cyberpunk disini yang berasal dari terkurungnya pandangan orang di luar sana mengenai negeri bekas jajahan/koloni yang dianggap lebih terbelakang dan hanya bisa bengong menonton Eropa dan Amerika bersaing untuk supremasi budaya dunia. Muncul ketertarikan diantara kami untuk melipatgandakan obrolan hingga larut malam.

Hari berikutnya, ketika kami mengantri untuk mengikuti konferensi di hari ketiga, dimana malam kemarinnya aku ketiduran saat berbincang panjang dengan mereka, Danna membisikan sesuatu padaku.

“Aku dan Ebet ‘gulat’ di kasur kemarin, maaf nggak ngajak, kamu keliatan pules banget,” begitu katanya. “Kayaknya Ebet ngga pernah ngelakuin itu deh,” lanjutnya di telingaku.

Di depan kami seorang pria setipis paku melengkungkan lehernya dan mulai menggonggong meracaukan apapun tanpa alasan yang jelas. Dia memiliki rambut gimbal yang panjang dan mengenakan jaket bergaris-garis. Danna mengatakan bahwa dia adalah salah satu pembicara penting yang mengisi jadwal acara hari itu. Penampilan pria itu membuat aku mengerti bahwa aku harus pergi. Aku tidak punya cukup ketertarikan untuk menahan rasa bosan di kerumunan pemuja nabi dan pribadi-pribadi besar itu. Tempat itu seperti Taman Firdaus, surga yang berdiri diatas prinsip-prinsip kebebasan namun tetap mempertahankan pemujaan terhadap Tuhan-Tuhan cebol yang menjadikan dunia cyber sebagai iman yang perlu dipertahankan, dimana hal ini menjadi tanda dari membusuknya budaya cyber itu sendiri. Meskipun para hacker telah membagikan poster kepada mereka dan berusaha mengintervensi acara itu, sepertinya usaha itu tak memberikan efek apa-apa. Semua ini lebih pantas disebut cybertren dari kualitas yang paling buruk. Namun tentu aku tak mengatakannya saat itu, karena aku akan diabaikan dan diperlakukan seperti sampah.

“Dahh! Sampai ketemu lagi Danna. Aku yakin Ebet dan kamu akan bahagia bersama.”

Tiba-tiba berpamitan, aku berusaha meninggalkan bangunan itu, melewati meja pemeriksaan dan menyerahkan kartu acaraku kepada seorang penjaga yang berharap mendapatkan uang tips dengan kode gerakan tangan kearahku. Akupun dilanda gelombang kemarahan yang tak terhentikan, geram karena sikap menjengkelkan itu, tanganku reflek mengepal dan ingin melayangkan pukulan ke perut buncitnya. Tapi aku segera membiarkan tanganku lemas terjatuh untuk menghentikan kepalan tanganku. Pekalongan bukan kotaku, aku tak tau banyak hal mengenai kota ini, termasuk jalan-jalan yang bertebaran disekeliling bangunan ini. Itu membuatku berfikir ulang. Jangan membuat masalah yang tak diperlukan dimana iblis akan disalahkan karena mendorong keinginan manusia untuk melakukan tindakan memberontak.

Aku berjalan melewati pintu dan menghirup udara luar sambil berdiri memandangi matahari pembunuh yang mengirimkan sinyal gangguan tentang isi dompet yang tak ada uang. Terduduk di depan pagar dan menunggu dengan tatapan kosong untuk mengetahui apa yang harus dilakukan setelah ini.

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai